Ketegangan semakin meningkat di Dusun Ai Jati, Desa Mapin Kebak, Kabupaten Sumbawa, menjelang rencana eksekusi lahan yang dijadwalkan pada 13 Oktober 2025. Eksekusi ini merupakan upaya menegakkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1947 K/1992, yang dikeluarkan pada 16 Februari 1995, yang menyatakan ahli waris almarhumah Sahema sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Namun, tanah yang menjadi sengketa ini saat ini ditempati oleh warga dan telah berkembang menjadi lokasi gerai ritel modern Alfamart, menciptakan konflik hukum dan sosial yang rumit. Kuasa hukum pihak termohon eksekusi, Sahdan, S.H., dari Sahdan Law Firm di Mataram, menyatakan bahwa tindakan Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa untuk melaksanakan eksekusi setelah 30 tahun bertentangan dengan asas kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 1967 KUH Perdata. “Hak untuk menuntut atau melaksanakan putusan sudah gugur karena telah lewat masa daluwarsa tiga dekade. Jika dipaksakan, maka pengadilan justru berpotensi melakukan perbuatan melawan hukum,” jelasnya. Ia mendesak agar PN Sumbawa menunda eksekusi dan meminta fatwa hukum dari Mahkamah Agung sebelum proses dilanjutkan.
Di sisi lain, putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) menjadi landasan bagi ahli waris Sahema untuk menuntut pelaksanaan eksekusi demi menjamin kepastian hukum. Namun, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menerbitkan sertifikat baru untuk sejumlah warga di atas lahan yang sama, menimbulkan dugaan adanya cacat administrasi pertanahan dan mempersulit pelaksanaan keputusan pengadilan.
Kasus ini merupakan gambaran dari paradoks hukum agraria di Indonesia, di mana terdapat benturan antara supremasi putusan pengadilan dan legalitas administratif sertifikat tanah. Konflik di Ai Jati menjadi ujian bagi integritas lembaga hukum, tanggung jawab pemerintah daerah, serta kehati-hatian korporasi nasional dalam mengakuisisi aset di atas tanah yang berstatus sengketa.
“Negara hukum harus menjamin kepastian, bukan kekuasaan,” tutup Sahdan menegaskan prinsip utama dari perdebatan panjang ini.